Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2020

Titik Jeda

Kerangka jiwanya bergelut dengan pikirannya Menobatkan pikiran kusut sebagai sang juara Sembari merintih, tubuhnya berkata, aku kalah , aku lelah Ia tak ingin berbuat apa-apa Mungkin karena terlampau lelah Pun ia tak sanggup berkata-kata Seolah hasrat berkata memang telah musnah Terhadap yang dirasa, menolak diungkap barang sekata Percuma, gumamnya dipadu sirat senyum tipis sebagai bingkainya Sesadarnya ia tau dunia sedang tidak beramah tamah untuk menyapa Maka, biar saja Sejak kapan, ia kalah dalam hal memendam? Setiap sulut emosi yang berkecamuk selalu dipaksa padam, bukan ? Mimpi-mimpinya pun tak lagi asing dengan realita pahit yang terus merajam Mengajarinya paham atas ketidakpahaman Mari aku ingatkan, Dalam jiwa mungilnya sudah bersemayam hati yang lebam dan mati rasa Hasil tempa kejamnya dunia Kau tak perlu repot mengiba! Alih-alih asing, sungguh ia sudah terbiasa dengan ini semua Dan dalam sekian jeda, ia siap bangkit dengan daya terbarunya —  DE.

Membunuh Hantu-Hantu Patriarki!

Merupakan kompilasi esai karya Dea Safira, seorang perempuan berprofesi sebagai dokter gigi namun juga aktif menyuarakan feminisme berbasis media digital seperti  voxpop.id . Ia juga berlakon sebagai perempuan di balik akun instagram feminisme dengan ribuan  followers . Melalui bukunya yang berjudul “ Membunuh Hantu-Hantu Patriarki ” ini, Dea berupaya menyuarakan dan menyadarkan tentang kesetaraan dalam keberagaman. Sejak kecil, semboyan “ Bhinneka Tunggal Ika ” yang bermakna  Berbeda-beda Namun Tetap Satu Jua  telah ditanamkan di kepala kita. Ternyata, ibu pertiwi sejak awal sekali sudah mendambakan negara yang kaya budaya dan tetap satu dalam perbedannya. Sayangnya, praktek memang tak semudah berkomat-kamit teori. Apa yang selama ini kita rasakan adalah keberagaman ini justru dipaksa untuk diseragamkan. Padahal, seperti yang Dea katakan, perbedaan sangat dibutuhkan untuk menghapus persaingan yang tidak sehat. Berangkat dari contoh ringan sehari-hari, Dea menyentuh koridor hidup y

Sekolah Dibubarkan Saja!

Sudahlah, untuk apa capek-capek belajar, toh, menjelang Ujian Nasional kunci jawaban akan marak beredar. Katanya, kunci didapat dari ‘orang dalam’. Sekolah itu tidak adil. Sekolah yang bersifat Jawasentris—bukan, lebih sempit lagi, Jakartasentris—menuntut seluruh muridnya untuk keluar dari institusi pendidikan dengan predikat lulus 100%. Tapi buta pada realita fasilitas tiap sekolah yang tak senada. Bagaimana mungkin menyeragamkan indikator kelulusan padahal fasilitas yang didapat untuk meraih kelulusan itu, berbeda-beda dan tak merata adanya? Lebih baik, sekolah digantikan saja dengan lembaga-lembaga swasta bimbingan belajar (bimbel). Melalui lembaga bimbel, kita diajarkan jalan pintas mengerjakan berbagai soal pelajaran. Bahkan, diberitahu trik-trik cepat memilih jawaban opsional dan hitungan. Fenoma kurikulum yang rumit dan kerap berganti pun menjadi tidak efektif untuk diterapkan pada siswa. Ekstremnya, mungkin dilakukan agar pemimpinnya memiliki bahan untuk dipaparkan terk