Membunuh Hantu-Hantu Patriarki!
Merupakan kompilasi esai karya Dea Safira,
seorang perempuan berprofesi sebagai dokter gigi namun juga aktif menyuarakan
feminisme berbasis media digital seperti voxpop.id. Ia juga
berlakon sebagai perempuan di balik akun instagram feminisme dengan
ribuan followers. Melalui bukunya yang berjudul “Membunuh
Hantu-Hantu Patriarki” ini, Dea berupaya menyuarakan dan menyadarkan
tentang kesetaraan dalam keberagaman.
Sejak kecil, semboyan “Bhinneka Tunggal
Ika” yang bermakna Berbeda-beda Namun Tetap Satu Jua telah
ditanamkan di kepala kita. Ternyata, ibu pertiwi sejak awal sekali sudah
mendambakan negara yang kaya budaya dan tetap satu dalam perbedannya.
Sayangnya, praktek memang tak semudah berkomat-kamit teori. Apa yang selama ini
kita rasakan adalah keberagaman ini justru dipaksa untuk diseragamkan. Padahal,
seperti yang Dea katakan, perbedaan sangat dibutuhkan untuk menghapus
persaingan yang tidak sehat.
Berangkat dari contoh ringan sehari-hari,
Dea menyentuh koridor hidup yang mungkin selama ini kita abai padahal banyak
sekali hak-hak hidup kita yang telah diusik. Dalam sistem patriarkis, sudah
jelas ciptaan Tuhan yang berjenis kelamin perempuan adalah sosok sekunder dalam
tatanan kehidupan. Negara maskulinitas pun memandang laki-laki adalah sosok
yang superior. Secara ringkas saja yang saya highlight, Dea
mencantumkan data Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2019, bahwa
dalam rentang tahun 2017 ke tahun 2018 terjadi peningkatan kasus kekerasan
terhadap perempuan sebesar 14%. Catahu 2019 juga menunjukkan bahwa suami
sebagai pelaku tindak kekerasan masih dan tetap berada di peringkat teratas.
Bentuk-bentuk kekerasan di ranah privat itu berupa kekerasan fisik, kekerasan
seksual, kekerasan psikis dan kekerasan ekonomi. Kata-kata mutiara berupa, “makanya,
perempuan di rumah aja, lebih aman”, akhirnya beralih fungsi menjadi
dongeng bagi perempuan. Faktanya, rumah yang dilabel sebagai tempat aman justru
menjadi tempat potensial terjadinya kasus kekerasan.
Terdapat tiga bab bagian, dengan 38 judul
esai di dalam buku ini. Dea menuliskan banyak hal diantaranya seperti hubungan
filosofi, ideologi, dan kenegaraan dengan feminisme, dorongan bagi perempuan untuk
berkelana alih-alih ‘di rumah saja’, perempuan dan menulis, perspektif
terhadap golongan emak-emak, kritik untuk caleg, pembahasan
menstruasi dan vagina—yang masih dianggap tabu pembahasannya, perihal cinta dan
pasangan di masa depan, dan masih banyak lagi. Terkesan hanya membahas
suara-suara perempuan? Oh, tentu saja tidak! Dea bukan pemuja feminis yang
otomatis membeci maskulinitas dan patriarkis. Justru ia juga menyinggung
mengenai kaum laki-laki yang sebenarnya kerap menjadi korban kekerasan seksual
namun lebih memilih bungkam karena sangsi dianggap lemah dan tidak jantan.
Hingga esensi feminis dalam memperjuangkan pemikiran cuti ayah dan ruang aman
untuk laki-laki agar dapat bersuara pun Dea tuliskan.
“Tentu, tidak semua lelaki melakukan
kekerasan dan pelecehan. Namun, semua perempuan pernah mengalami kekerasan dan
pelecehan. Ketika perempuan berupaya menjelaskan tentang perilaku lelaki, itu
bukan berarti menyalahkan, melainkan mencari tahu penyebabnya. Meminta solusi
tanpa membahas permasalahannya adalah ibarat meminta obat untuk menyembuhkan
sakit, tanpa mengetahui penyebab sakitnya. Maka, ketika ingin melawan
patriarki, ya harus mengangkat wacara dari sisi perempuan, bukan malah
membuatnya kembali soal lelaki.”
Buku ini adalah rekomendasi bacaan yang wajib dibaca setiap perempuan dan laki-laki di muka bumi. Bunga rampai dengan pembawaan asik dan santai khas kaum muda ini cukup membuka pemikiran saya, yang selama ini sepertinya masih terkategori acuh atas hal-hal terkait kaum saya sendiri. Perjuangan feminisme terlihat sukar ditembus jika mengharapkan terciptanya kebijakan dan regulasi. Mungkin, melalui giat literasi seperti ini yang lambat laun dapat melunturkan budaya patriarki. Karena, meskipun kelak ada regulasi yang represif, nyatanya kesadaran dari pemikiran masyarakat adalah komponen yang teruji lebih efektif.
Komentar
Posting Komentar