Sekolah Dibubarkan Saja!


Sudahlah, untuk apa capek-capek belajar, toh, menjelang Ujian Nasional kunci jawaban akan marak beredar. Katanya, kunci didapat dari ‘orang dalam’.
Sekolah itu tidak adil. Sekolah yang bersifat Jawasentris—bukan, lebih sempit lagi, Jakartasentris—menuntut seluruh muridnya untuk keluar dari institusi pendidikan dengan predikat lulus 100%. Tapi buta pada realita fasilitas tiap sekolah yang tak senada. Bagaimana mungkin menyeragamkan indikator kelulusan padahal fasilitas yang didapat untuk meraih kelulusan itu, berbeda-beda dan tak merata adanya?
Lebih baik, sekolah digantikan saja dengan lembaga-lembaga swasta bimbingan belajar (bimbel). Melalui lembaga bimbel, kita diajarkan jalan pintas mengerjakan berbagai soal pelajaran. Bahkan, diberitahu trik-trik cepat memilih jawaban opsional dan hitungan.
Fenoma kurikulum yang rumit dan kerap berganti pun menjadi tidak efektif untuk diterapkan pada siswa. Ekstremnya, mungkin dilakukan agar pemimpinnya memiliki bahan untuk dipaparkan terkait program kerja di akhir masa jabatan.
Iya, kan?




Gila!

Satu-satunya kata yang ada di kepala saya ketika membaca tiap baris kalimat yang ada di buku ini.

Makar ga sih ini?
Demi apapun, saya belum ingin tiba-tiba hilang di tengah malam hanya karena memiliki buku ini.

Saya tak henti membatin dalam hati.

Lucunya, saya tidak berhenti. Tiap kalimatnya berhasil menyulut rasa penasaran saya, hingga tak terasa buku ini selesai saya lahap dalam waktu kurang dari sehari semalam. Sejak bagian kata pengantar, otak dan sekujur badan saya sudah panas dingin. Banyak hal, bahkan mungkin hampir seluruhnya terasa bertentangan dengan keyakinan saya. Salah satu kalimat di bagian kata pengantarnya berbunyi seperti ini:
Pemilihan judul buku Sekolah Dibubarkan Saja!, terasa begitu provokatif dan membakar emosi, terutama bagi mereka yang menganggap institusi sekolah adalah satu-satunya altar suci tempat dilahirkannya manusia-manusia unggul berprestasi.
Tak sampai disitu, secara sadar sang penulis mengatakan:
Buku 'Sekolah Dibubarkan Saja!' memang provokatif. Selain melulu mengkritik lembaga formal bernama sekolah, kritik itu juga hanya kritik, tak ada solusi jelas untuk kritik yang dilontarkan. Tetapi sejak kapan kritik mesti melulu beriring solusi. Pihak yang dikritiklah yang semestinya mencari solusi sendiri untuk semua kritik itu. Sudah untung dikritik, jadi bisa memperbaiki diri dengan mempelajari kritik-kritik itu.

Pertama, jujur saja, saya termasuk golongan ‘yang selama ini menganggap institusi sekolah adalah satu-satunya altar suci untuk belajar dan memperoleh prestasi.’ Kedua, bagi saya, solusi adalah segalanya. Kritik, kritik, dan kritik, sampai kapan kita bergelut dengan kritik tapi tidak dapat memberi solusi? Dunia sudah terlalu sesak dengan manusia yang hanya mengkritisi tapi tidak dapat memberi solusi. Bukankah kritik muncul ketika sesuatu itu dirasa tidak sesuai dengan keyakinan di hati? Semalas-malasnya berpikir, utarakan saja apa yang sebenarnya kita inginkan tersebut sebagai solusi. Sederhana, bukan? 

Hingga titik akhir buku ini saya baca, keyakinan saya tak bergeming. Perspektif saya terhadap sekolah sebagai institusi yang istimewa tak berubah hingga detik ini. Namun, saya lantas tidak membenci buku ini. Bahkan, saya setuju dan menerima apa-apa yang dikatakan Bang Chudiel.

Ya, dialah Afdillah Chudiel, sang penulis, seorang sosiolog. Seseorang yang menjadi korban institusi bernama pendidikan. Memiliki cita-cita menjadi seorang penulis. Berkeinginan masuk program Bahasa ketika SMA, namun institusi suci ini tak berkenan memberi jalan meraih mimpinya. Jurusan IPA dan IPS-lah yang hanya tersedia di sekolahnya, dengan pemegang kasta tertinggi oleh jurusan IPA dan jurusan IPS sebagai aksesori belaka. Bang Chudiel sebagai ‘aksesori belaka’ menghabiskan masa SMA-nya.

Banyak pro dan kontra yang bergejolak pada diri saya pribadi. Bagaimana tidak, secara subjektif saja, saya dilahirkan dari seorang Ibu yang berprofesi sebagai guru. Dibesarkan dari lingkungan keluarga yang sebagiannya berprofesi di bidang pendidikan. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, hari-hari saya jalani dengan beragam rantaian les private. Les matematika, bahasa inggris, bahkan les arab melayu! SMP dan SMA, mata pelajaran les saya merambat ke pelajaran fisika dan kimia. Meskipun saya sadari, sejak awal saya lebih menyukai jurusan IPS. Les bidang eksakta saya jalani agar lebih memahami pelajaran dan berorientasi memperoleh angka yang tinggi untuk dipampang di kitab suci bernama rapor. Ketika kenaikan kelas, wali kelas menahan rapor saya karena saya memiliki nilai yang baik untuk jurusan eksakta. Memiliki tiga orang saudari yang seluruhnya jurusan IPA, orangtua saya pun masih meyakinkan pilihan saya untuk terjun di jurusan ilmu sosial. Untungnya, saya memiliki orangtua yang demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah sehingga tidak pernah memaksakan kehendaknya dan tetap mendukung segala pilihan yang ingin dijalani anaknya. Maka, saya tak merubah haluan dan tetap pada bidang IPS sebagai tujuan. Lulus dari SMA, saya mengikuti kelas bimbel untuk persiapan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri, hasilnya saya diterima disalah satu PTN bidang ilmu sosial. Tak berhenti disitu, sewaktu kuliah pun saya masih menjadi siswa di salah satu bimbingan belajar bahasa Inggris. Hidup saya tidak pernah lepas dari namanya belajar dan institusi pendidikan. Sampai sini saya rasa cukup jelas, mengapa banyak pertentangan yang muncul ketika saya membaca buku ini.

Hebatnya, Bang Chudiel tetap berhasil membuat saya mengangguk dan tersenyum membaca tulisannya. Seperti ketika ia menceritakan kisah salah seorang siswa pintar yang mengerjakan Ujian Nasional secara murni, namun harus tersingkir oleh para ‘reman’ ketika bersaing memperoleh SMA unggulan. Si murid pintar, jujur dan murni ketika mengerjakan ujian ini, memperoleh rata-rata UN yang berselisih sedikit lebih rendah dari para reman yang menggunakan kunci jawaban dan tergolong malas-malasan belajar. Sekolah tidak melihat realitanya, tidak memperhitungkan prosesnya. Yang sekolah tahu hanyalah berapa besar angka yang diperoleh tiap-tiap siswanya. Di lain kisah, muncul pemikiran dari seorang anak bernama Rio. Hidup di daerah agraris dan sehari-hari bergelut dengan pertanian dan peternakan, bagaimana mungkin di sekolah disuruh memahami jarak bumi ke matahari dan bintang-bintang? Sosok anak ini mempertanyakan mengapa sekolah tidak mengajari bagaimana cara bercocok tanam, membuat pupuk organik, mencangkul dan memahami musim tanam saja? Masih berlanjut, penulis menangkat masalah di daerah Bibir Selat Pagai yang menjadi ‘Kampung Siswa’. Di sana, terdapat siswa-siswa yang tinggal—yang cukup jauh dari pantauan orangtua, demi ilmu pengetahuan dan selembar ijazah. Ironinya, tidak sedikit siswa yang berhenti di tengah jalan karena fenomena hamil di luar nikah dan memutuskan pulang kampung untuk menikah. Tidak heran, mereka adalah remaja yang berada di fase ‘rasa ingin tahu dan mencoba’ yang tinggi, sehingga banyak hal-hal yang terjadi diluar kontrol dan tidak dibarengi dengan edukasi remaja yang memadai.

Bang Chudiel mampu menyentuh realita yang pasti setiap dari kita pernah jalani. Setiap pengalaman-pengalaman yang pernah kita rasakan di institusi sekolah kembali beliau sentil. Bang Chudiel secara tidak langsung telah membuat para pembaca—khususnya saya, mau tidak mau setuju dengan argumentasinya. Bagian yang menyenangkan adalah, ternyata beliau memberi solusi di akhir tulisan ‘radikal’nya. Meskipun di awal buku ia mengatakan ini adalah buku yang hanya mengkritisi, namun ia tak sejahat itu untuk tidak memberi solusi. Dan lagi-lagi, saya tersenyum lega dalam hati karena ia membuat saya menyukai buku ini setelah sebelumnya berhasil membuat kesal mengaduk-aduk emosi.

Buku Sekolah Dibubarkan Saja! adalah buku yang berat, namun ringan. Ia mampu menyuarakan apa-apa yang selama ini mungkin kita paksa untuk dipendam saja. Hal-hal yang selama ini salah namun kita anggap biasa, karena memang sudah terbiasa dengan hal-hal yang jelas salah secara nurani dan logika. Meskipun di satu sisi saya tidak menampik atas kehadiran rasa khawatir munculnya golongan pelajar yang membangkang setelah membaca buku ini, sebaliknya, saya sangat berharap melalui buku Bang Chudiel akan tercipta agen-agen di institusi pendidikan yang berkenan berkaca untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik kedepannya. Baik itu pejabat di pemerintahan, tenaga pengajar, para pelajar dan para orangtua pun sangat dipersilakan untuk membaca. Adanya berbagai warna pikiran seperti ini sudah seharusnya diapraesiasi, karena kritik adalah salah satu bentuk masih adanya rasa perhatian dan peduli. Bukan justru menjadikan kita sosok-sosok yang apatis dan membenci mimbar kritisi. Karena jika tidak, kapan kita tergerak untuk berbenah menjadi lebih baik lagi?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memperjelas Kacamata Pendidikan: Bukan Hanya Tanggung Jawab Tenaga Pengajar

Indonesia: Murnikah Sistem Hukum Civil Law?