Memperjelas Kacamata Pendidikan: Bukan Hanya Tanggung Jawab Tenaga Pengajar
“Jadikan setiap tempat sebagai sekolah, dan jadikan setiap orang sebagai guru.”Ki Hajar Dewantara, Pahlawan Nasional, Bapak Pendidikan Republik Indonesia.
Bidang keilmuan dan pendidikan
merupakan senjata hidup bagi umat manusia. Telah sejak lama ilmu pengetahuan
dan pendidikan menjadi sorotan mata dunia dalam upaya menciptakan peradaban
manusia yang hidup menggunakan akal dan perilaku penuh adab. Bangsa yang tidak
cerdas, berarti membuka jalan untuk ditindas. Hidup senantiasa diinjak bangsa
lain dan dijajah di tanah sendiri manakala tak cukup cakap menjalankan berbagai
strategi bernegara. Bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, termasuk aspek pendidikan,
dan segala hal ikhwal dalam hidup, bertumpu atas satu, yaitu ilmu. Di
Indonesia, alur cerita menyebarkan ilmu pengetahuan dan menegakkan pendidikan
yang merdeka bukanlah hal yang gampang dilakukan. Tak cukup diarungi berbagai
polemik, prosesnya ini tak sungkan-sungkan meneteskan darah para tokoh heroik
dibaliknya.
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat,
atau familiar kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidikan bangsa
Indonesia. Beliau dilahirkan pada tangal 2 Mei 1889, yang lantas diabadikan
pula sebagai hari lahirnya pendidikan di Indonesia. Berlatar belakang keluarga bangsawan
memberinya akses pada dunia pendidikan. Namun, dibalik kebahagiannya bersekolah,
sosok Soewardi kecil telah menyimpan luka melihat teman sebayanya yang tak
berkesempatan merasakan hal yang sama karena pendidikan di zaman itu hanya tersedia
bagi kaum priyai saja. Tak hanya giat dalam dunia pendidikan, ia juga tumbuh
menjadi pemuda yang berkutat dalam dunia jurnalistik dan aktivis muda melalui
berbagai organisasi, salah satunya organisasi kepemudaan Boedi Oetomo.
Pada tahun 1913, ia diasingkan ke
Belanda. Pengasingannya disebabkan kritik tajamnya terhadap Bangsa Belanda,
yang ia publikasikan dalam bentuk tulisan dengan judul “Als ik een Nederlander was” atau yang berarti “Seandainya Aku Seorang Belanda”. Adapun kritik itu muncul karena, lagi-lagi, Belanda menyakiti hatinya
dengan cara melaksanakan pesta kemerdekaan di negara jajahannya (di Indonesia).
Tak cukup sampai disitu, dalam upaya penyelenggaraan pestapora tersebut Belanda
masih mengeruk kantong rakyat Indonesia, memungut sumbangan untuk pendanaan
kegiatannya. Selama berada di pengasingan, kecerdasannya tak lantas tumpul, ia
justru melakukan banyak kegiatan.. Hingga sepulangnya ke tanah air, ia
mendirikan institusi pendidikan bernama Nationaal
Onderwijs Instituut Tamansiswa atau yang kita kenal dengan Taman Siswa. Sejak
saat itu, jasanya menggoncang jiwa bangsa untuk jeli pada dunia pendidikan tak
padam membara.
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan
“...untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia...”. Mengerucut,
pada Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 mengatur Tentang Pendidikan Nasional, Pasal 1 Ayat (1) berbunyi: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Tak
hanya secara konstitusional, segi agama pun telah lebih dahulu menyeru umatnya
untuk berilmu. Intinya adalah, kewajiban berilmu merupakan perintah yang hakiki
dari Tuhan dan kemudian pemerintah, hal ini dapat diperoleh melalui suatu
badan, yaitu institusi pendidikan baik secara formal maupun formal. Tunggu dulu. Apakah hanya dari institusi ini saja? Sebelum menjawabnya, mari kita lihat sedikit potret pendidikan melalui data yang ada.
Mengutip
dari Kumparan.com, dikatakan bahwa berdasarkan survei kemampuan pelajar yang dirilis oleh Programme for International Student
Assessment (PISA) pada Desember 2019 di Paris, menempatkan Indonesia di
peringkat ke-72 dari 77 negara. Bercokol di peringkat enam terbawah, masih
kalah dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Education Index dari Human Development
Reports (2017), pun menyebut Indonesia ada di posisi ke-7 di ASEAN dengan
skor 0,622. Skor tertinggi diraih Singapura (0,832), Malaysia (0,719), Brunei
Darussalam (0,704), Thailand dan Filipina berada di posisi imbang dengan besar skor yang sama (0,661).
Selanjutnya, data UNESCO dalam Global
Education Monitoring (GEM) Report
2016, mutu pendidikan di Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara
berkembang. Sedangkan kualitas guru sebagai komponen penting dalam pendidikan,
berada di urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Mungkin tidak perlu dibantah. Karena faktanya, memang 75% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Tak cukup sampai disitu, dunia pendidikan yang seharusnya dipenuhi keintektualan, justru menampilkan berbagai bentuk kekerasan yang mirisnya terjadi di lingkungan sekolah. Ikhtisar Eksekutif Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020 dari Kemen-PPPA menyebut 84% siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah dan 50% anak pernah mengalami perundungan (bullying) di sekolah. Menurut KPAI, angka kasus tawuran pelajar pun meningkat, dari 12,9% menjadi 14% di tahun 2018. Data Puslitkes UI dan BNN tahun 2016 pun turut
berbicara, mengungkap 27% pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa.
Sekilas, data-data yang ada mempertontonkan
ironinya pendidikan di bumi pertiwi. Menimbulkan tanda tanya besar atas
tanggungjawab pemerintah, bahkan jajaran tenaga pengajar terhadap pendidikan di
Indonesia. Alih-alih saling tunjuk dan menyalahkan, di hari suci Pendidikan Nasional
ini ada baiknya kita fungsikan sebagai hari evaluasi terhadap pendidikan secara
berkala, dari tahun ke tahun berikutnya. Bukan sekadar upacara penghormatan
terhadap usaha sang pahlawan di masa lampau, tapi bagaimana usaha kita
melanjutkan perjuangannya di zaman yang penuh dengan persaingan global.
Kesuksesan pendidikan di Indonesia, bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja,
atau tenaga pengajar saja. Namun juga turut menjadi tanggung jawab dari lingkup terkecil
keluarga, kemudian media massa, dan lembaga-lembaga lain untuk mencetak generasi
yang berakhlak dan berbudi pekerti luhur.
Cenderung mendengar opini yang menyudutkan
pemerintah dan tenaga pengajar, seolah-olah keboborokan menghasilkan generasi
penerus bangsa adalah kesalahan, kegagalan dan ketidakmampuan tenaga pengajar dalam
menjalani profesinya. Padahal, dalam tahap hidup sosialisasi manusia, keluarga
adalah agen pertama yang menjadi tempat anak untuk memperoleh nilai-nilai
kehidupan, menentukan baik dan benar, agar dapat diterima ketika terjun di
masyarakat. Barulah kemudian, institusi pendidikan yang memolesnya dengan ilmu pengetahuan yang ada. Solusi, solusi, dan solusi, adalah hal yang kita butuhkan. Bukannya
memperkeruh setiap masalah yang ada. Manusia yang cerdas tanpa akhlak yang baik
adalah sia-sia. Ia berilmu, tapi buta nurani. Koruptor, adalah salah satu
bentuk manusia yang keluar dari kriteria ini. Di sisi lain, akhlak yang baik
pun akan cacat apabila tak diisi dengan ilmu. Maka, kedua hal ini harus jalan
beriringan. Kedua hal ini, hanya dapat diperoleh ketika ada keseimbangan dari setiap
lini yang menjalankan fungsi sebagaimana mestinya.
Sumber:
Komentar
Posting Komentar